PERADABAN
TANPA CINTA
Oleh
: Prof. Dr. Syafi'i Ma'arif
Tujuh
abad yang lalu Jalaludin Rumi (1207 - 1373), penyair sufi besar
kelahiran Balkh, dalam karya monumentalnya Matsnawi
mengungkapkan :jika tiada cinta, dunia akan membeku".
Cinta baginya adalah penaka lautan luas dan dalam, seluas dan
sedalam daya jelajah nurani manusia itu sendiri. Cintalah yang
semestinya menjadi pilar utama bagi asas hubungan antar manusia,
antar bangsa, antar kebudayaan, antar sistem hidup yang berbeda.
Pertimbangan rasional dan kepentingan melulu tampaknya sering benar
membawa kebinasaan. Perang adalah satu bentuk skstrem yang
distruktif dan corak hubungan manusia yang terlepas dari panduan
cinta. Perang adalah manifestasi dari iklim hati yang membeku,
kecuali perang untuk membela diri dan membela keadilan hakiki.
Cinta
adalah akar dari segala kebaikan dan keutamaan hidup manusia. Oleh
sebab itu Nabi Isa as dikatakan pernah berpesan : "cintailah
jiranmu (tetanggamu) !" Nabi Muhammadpun dalam salah satu
Haditsnya memberi pedoman : "tidaklah beriman seorang di antara
kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai
dirinya sendiri". Tapi pada saat peradaban manusia semakin
materialistis, masih adakah telinga yang mau mendengar pesan-pesan
agung para Nabi itu ? Tentu masih ada, tapikebanyakan mereka sedang
berada di arus pinggir gelombang peradaban. Peradaban yang menguasai
arus globalisasi, berkat ilmu dan teknologi modern, adalah peradaban
yang lahir dari konstitusi hati yang sedang membeku.
Kebekuan
hati punya banyak implikasi. Di antaranya adalah lenyapnya kepekaan
terhadap nilai baik dan buruk. Baik dan buruk telah dijadikan
komoditas perniagaan tanpa moral. Bahkan, kata F. Nietzsche, orang
harus mencari sistem nilai di kategori baik dan buruk itu. Hati yang
beku dan tertutup inilah yang dilukiskan Al-Quran "lahum
qulubun laa yafqahuna biha" (QS. 7 :179). Hati mereka sudah
buta dan sudah tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya.
Implikasi
kedua adalah dalam hubungan persaudaraan yang semata-mata ditentukan
oleh 'kekuatan' benda dan kepentingan profan lainnya.
Peradaban Barat yang terlepas dari ajaran cinta Nabi Isa adalah di
antara sebab utama mengapa suasana dunia terasa begini kering dan
tandus. Dalam pada itu dunia Islam pun telah lama terpecah; ajaran
persaudaraan sejati seperti yang disimbolkan dan ditekankan Al-Quran
sudah tidak dihiraukan lagi, semata-mata karena tarikan kepentingan
benda dan bangsa yang lebih diutamakan.
Implikasi
ketiga dapat kita lihat dalam bentuk kerakusan, baik terhadap benda
maupun terhadap kekuasaan. Benda dan kekuasaan di tengah yang beku
akan membawa malapetaka. Kerakusan sebenarnya adalah simbol dari
struktur batin yang sakit dan labil. Malangnya adalah banyak sekali
orang yang tidak dapat melihat bencana yang mungkin ditimbulkan oleh
watak rakus ini, khususnya dalam suatu sistem kekuasaan yang
tertutup. Komunisme yang pada abad-abad mendatang tampaknya akan
menjadi tuyang-tuyang (sisa-sisa) peradaban adalah bentuk
ekstrem sistem kekuasaan tertutup ini. Penganut paham ini rakusnya
terhadfap kekuasaan luar biasa.
Kerakusan
kepada benda adalah di antara watak sistem kepitalisme. Daniel
Bell melihat bahwa kerakusan kapitalis ini sudah terlepas dari
panduan dan doktrin Kristen. Dengan demikian, baik komunisme maupun
kapitalisme, adalah sistem-sistem yang lahir dari rahim peradaban
tanpa cinta, tanpa orientasi spiritual. Peradaban semacam inilah
yang hampir meluluhkan eksistensi umat manusia pada abad ke-20 ini.
Akhirnya,
akankah dunia yang akan datang dapat menciptakan sebuah peradaban
yang lebih ramah dan lebih toleran ? Tidak mudah untuk menjawabnya,
tapi adalah kewajiban kita untuk terus bergerak ke jurusan itu
dengan memanfatkan keadaan peradaban yang sedang sekarat itu. Al-Quran
mendekritkan :manusia merupakan umat yang tunggal (QS. 2
:213). Ketumpulan wawasan moral dan kerakusan terhadap benda dan
kekuasaa sepanjang sejarah telah mencabik-cabik prinsip kesatuan
umat manusia ini. Bersatulah, bersatulah kembali, demi meraih
peradaban yang benar-benar dilandasi oleh cinta.
|